OPINI| Eranews.id – Sejak tahun 2017, media sosial Indonesia dipenuhi oleh video-video bertag “Labrak Pelakor.” Video-video ini menampilkan perkelahian sengit antara perempuan, sering kali disertai kekerasan verbal dan fisik. Istilah “pelakor” (perebut laki orang) merujuk kepada perempuan yang dianggap sebagai penyebab keretakan rumah tangga karena menggoda atau mencuri suami orang lain. Fenomena “Labrak Pelakor” ini menggambarkan betapa bahasa dapat menjadi senjata dalam konflik sosial, di mana pelakor dipandang sebagai ancaman bagi hubungan perkawinan, yang merusak ikatan antara suami dan istri.
Tipe-Tipe Pelabrakan Terhadap Pelakor
Berdasarkan kolom “Lifestyle” di okezone.com, ada lima tipe pelabrakan terhadap pelakor yang paling brutal yang sering muncul dalam video-video tersebut:
- Jambak-Jambakan di Tempat Umum: Perkelahian fisik yang dilakukan secara terbuka di tempat umum.
- Livestreaming di Facebook: Pelabrakan yang disiarkan secara langsung melalui media sosial.
- Digrebek dan Diamuk Warga: Penyerangan langsung terhadap pelakor oleh warga sekitar.
- Menyawer dengan Uang: Peristiwa seperti yang terjadi di Tulungagung, di mana pelakor disawer uang dengan tujuan menghina.
- Menaiki Kap Mobil Suami: Kasus di mana seorang istri anggota DPRD Manado memergoki suaminya berselingkuh dan menaiki mobil suaminya sebagai bentuk protes.
Kejahatan Berbahasa dan UU ITE
Fenomena labrak pelakor tidak hanya melibatkan kekerasan fisik tetapi juga kejahatan berbahasa. Kejahatan berbahasa adalah tindakan kriminal yang bertujuan untuk melukai, menyerang, dan menyakiti psikis korban. Dampak dari kejahatan berbahasa mencakup:
- Pembunuhan Karakter: Merusak reputasi dan kehormatan korban.
- Penghinaan dan Penurunan Harga Diri: Mempermalukan korban di hadapan publik.
- Informasi Palsu dan Ketakutan: Menciptakan keonaran dan ketidakamanan.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mengancam pelaku kejahatan berbahasa dengan hukuman berat. Media sosial sebagai wadah penyebaran ujaran membuat dampak dari kejahatan berbahasa bisa sangat luas dan merusak, layaknya pembunuhan massal dalam skala digital.
Linguistik Forensik dan Fenomena “Labrak Pelakor”
Penelitian ini menggunakan pendekatan linguistik forensik, yaitu penerapan teori-teori linguistik untuk menganalisis kasus kebahasaan yang berindikasi melanggar hukum. Linguistik forensik bertujuan untuk:
- Menentukan Penutur: Menganalisis bahasa untuk mengidentifikasi pelaku.
- Menafsirkan Makna: Memahami maksud dan bentuk teks yang berindikasi melanggar hukum.
Penelitian ini menggunakan data dari video-video berhastag “Labrak Pelakor” yang diunggah hingga 14 Oktober 2022 dengan lebih dari 500 ribu penonton. Video-video ini merupakan peristiwa nyata yang telah menimbulkan kontroversi dan perdebatan.
Hasil Penelitian
Penelitian menunjukkan bahwa video-video bertema labrak pelakor mengandung tiga kategori utama kejahatan berbahasa:
- Penghinaan: Tuturan yang merendahkan derajat seseorang dengan kata-kata atau tindakan yang bersifat negatif. Contohnya termasuk cercaan, makian, dan sindiran yang merendahkan.
- Pencemaran Nama Baik: Tuturan yang menggunakan kosakata tabu atau tuduhan yang merendahkan harga diri korban. Ini mencakup penggunaan kosakata alat reproduksi dan tuduhan tidak bermoral.
- Pengancaman: Tuturan yang menyatakan niat atau rencana untuk merugikan atau mencelakakan pihak lain, yang menyebabkan ketakutan dan rasa tidak aman pada korban.
Dari 320 tuturan yang dianalisis, 25% dikategorikan sebagai penghinaan, pencemaran nama baik, dan pengancaman. Tuturan tersebut sering disertai dengan gesture negatif yang memperburuk dampaknya.
Dampak Hukum “Labrak Pelakor”
Fenomena labrak pelakor yang viral di media sosial mengandung berbagai bentuk kejahatan berbahasa yang berhubungan dengan peraturan hukum di Indonesia. Kategori kejahatan berbahasa ini berkaitan dengan beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yaitu
- KUHP BAB XVI: Mengatur tentang penghinaan, mencakup Pasal 310 hingga Pasal 321, yang menekankan pada tindakan penghinaan terhadap martabat seseorang.
- KUHP BAB XXIII: Berisi tentang pemerasan dan pengancaman, dari Pasal 368 hingga Pasal 371.
- UU ITE: Mencakup Pasal 27A, Pasal 27B (ayat 1 dan 2), Pasal 45 (ayat 4, 5, 6, 7,10 dan 11), yang mengatur tentang penyebaran informasi yang melanggar hukum melalui media elektronik.
Pasal-pasal tersebut mengancam pelaku kejahatan berbahasa dengan hukuman penjara dan denda yang berat. Penegakan hukum ini bertujuan untuk melindungi masyarakat dari dampak buruk yang dihasilkan oleh ujaran kebencian dan perundungan di media sosial.
Fenomena “Labrak Pelakor” menunjukkan bahwa tindakan perundungan dan penyebaran ujaran kebencian melalui media sosial dapat memiliki dampak hukum yang serius. Penggunaan bahasa dalam video-video tersebut tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga dapat memperburuk situasi dan menambah permasalahan sosial baru.
Perselingkuhan, meskipun merupakan tindakan yang sering dianggap sebagai pelanggaran kepercayaan dalam suatu hubungan perkawinan, juga diatur dalam hukum. Di Indonesia, tindakan ini dapat dikenai sanksi pidana berdasarkan Pasal 284 KUHP dan Pasal 27 KUH Perdata. Negara melindungi hak warga negara dengan mengatur sanksi untuk tindakan tercela ini, baik yang dilakukan oleh suami maupun istri.
Simpulan
Konflik pribadi seperti perselingkuhan seharusnya diselesaikan melalui jalur hukum dan tidak disebarluaskan di media sosial. Penyebaran konflik pribadi di media sosial dapat memperkeruh masalah dan menciptakan dampak sosial yang lebih luas dan merugikan. Fenomena “Labrak Pelakor” mengajarkan bahwa bahasa di media sosial dapat digunakan sebagai senjata yang berbahaya, dengan potensi dampak yang luas dan merusak.
Dengan memahami dan menyadari dampak hukum serta sosial dari tindakan ini, diharapkan masyarakat dapat lebih bijaksana dalam menggunakan media sosial. Kita harus memastikan bahwa penggunaan bahasa dan penyebaran informasi dilakukan dengan cara yang tidak melanggar hukum dan menghormati hak-hak orang lain.
Penulis : Silvia Sembiring, Dosen Universitas Dehasen Bengkulu (Red)